Sunday, December 30, 2007

Time, Soeharto dan Kemerdekaan Pers

Oleh Ida Mawardi

Kamis, 30 Agustus 2007 lalu, dunia pers Indonesia berduka. Tapi sebaliknya, Cendana bertabur suka. Pada hari itu, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan sebuah putusan: Time harus membayar ganti rugi kepada Soeharto yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung Rp 1 triliun.

Putusan spektakuler itu menjadi kado pahit bagi UU Nomor 40 Tahun 1999, yang berusia tepat delapan tahun pada 23 September 2007. Putusan itu, bermula pada 14 Mei 1999 silam. Saat itu, majalah Time edisi Asia yang berkedudukan di Hongkong memuat artikel tentang kekayaan Soeharto dengan judul Soeharto Inc How Indonesia’s Long Time Boss Build a Familly Fortune (Perusahaan Soeharto. Bagaimana Indonesia dalam Waktu Lama Membangun Kekayaan Keluarga).

Tiga hari kemudian, Time mengungkap adanya transfer dana sebesar sembilan miliar dolar AS dari Swiss ke Austria yang diduga milik Soeharto. Tak hanya itu, majalah tersohor itu menulis pula tentang kekayaan anak-anak Soeharto di luar negeri. Selanjutnya, pada 24 Mei 1999, Time Asia yang berkantor pusat di New York US kembali menurunkan hasil investigasi wartawannya mengenai harta kekayaan Soeharto dan keluarganya. Berdasarkan hasil investigasi itu, Time memperkirakan keluarga Soeharto memiliki kekayaan 15 miliar dolar AS baik berupa uang, tanah dan bangunan, barang seni, perhiasan dan pesawat pribadi.

Sekian sering diberitakan itu, membuat Soeharto terusik dan merasa nama baiknya dicemarkan menggugat Time pada 5 Juli 1999 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pimpinan Time di New York menunjuk Todung M Lubis sebagai kuasa hukumnya. Sebagaimana gugatan perdata menurut sistem hukum di Indonesia, sidang dilakukan beberapa kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 6 Juni 2000, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara itu yang dipimpin Sihol Sitompul menolak gugatan Soeharto dan memutuskan Time tidak bersalah. Dasar putusan itu, dalam beberapa kali sidang terbukti pemberitaan Time tersebut tidak mengandung unsur penghinaan, penistaan dan pemfitnahan terhadap keluarga Soeharto sebagaimana tuduhan.

Tak terima putusan itu, Kubu Soeharto melayangkan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang ternyata juga mengeluarkan putusan yang sama dan dengan pertimbangan hukum yang sama pula dengan Putusan PN itu pada 16 April 2001. . Kubu Soeharto tak puas dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tujuh tahun berlalu dan selama itu pula kasus tersebut mengendap di MA, hingga akhirnya lembaga peradilan tertinggi itu mengeluarkan putusan yang bertolak belakang dari putusan dua lembaga peradilan di bawahnya, pada 30 Agustus 2007 lalu.

Itulah petaka yang menimpa pers di negeri ini. Berbagai komentar dan penilaian pun bermunculan, yang intinya mempertanyakan putusan itu dikaitkan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejumlah kalangan menilai, putusan itu akan menjadi prseden buruk bagi pers di negeri ini. Negeri yang demokrasi dan memberikan perlindungan hukum kepada jurnalisnya melalui UU tersebut sebagai penjabaran dari Pasal 28f UUD 1945.

Putusan MA tersebut seolah menyatakan, Soeharto masih mempunyai kekuasaan di negeri. Saat Sihol Sitompul usai membacakan putusan PN Jakarta Pusat, terjadi sebuah adegan kecil. Menurut Hamid Awaludin, usai mengetukkan palu, Sihol Sitompul menengok seorang anggota Tim Penasihat Soeharto dan seraya menggelengkan kepala ia berkata: "I am sorry, I cannot help you."

Fakta itu merupakan ancaman serius bagi kehidupan pers kita, sebab tidak menutup kemungkinan putusan serupa kembali terulang di alam reformasi ini. Fakta itu pula yang membuat pers kita ketakutan dalam memberitakan peristiwa khususnya yang berkaitan dengan adanya dugaan korupsi atau perbuatan lain yang merugikan rakyat khususnya yang dilakukan penguasa.

Kita kalangan pers menilai, putusan MA terhadap kasus Soeharto dengan Time itu bisa membuat pers di Indonesia kehilangan daya kritisnya karena ancaman pengadilan. Akhirnya, salah satu fungsi pers yakni sebagai kontrol sosial tidak memiliki makna karena kehilangan kekuatan. Putusan MA tersebut juga dianggap menghambat pemberantasan korupsi yang disiarkan oleh media massa baik tulis maupun elektronik.

Kembali ke Kasus Soeharto – Time. Kalau kita, kasus tersebut muncul yakni saat gugatan diajukan, sekitar dua bulan sebelum UU Nomor 40 Tahun 1999 lahir (5 Juli 1999 – 23 September 1999). Putusan PN dikeluarkan pada 6 Juni 2000 (sembilan bulan usia UU tersebut), dan putusan MA yang mengundang sejumlah reaksi itu hadir sebagai ‘hadiah’ ulang tahun yang ke delapan bagi UU Nomor 40 Tahun 1999. Sebuah hadiah yang sangat menyakitkan, memang. Ketika mengeluarkan putusan itu, MA tidak menerapkan UU Nomor 40 Tahun 1999 –yang masih berlaku hingga saat ini—dalam pertimbangan hukumnya.

Seharusnya, MA menggunakan UU tersebut dalam pertimbangan hukumnya . Sebab, walaupun Time adalah pers asing UU Nomor 40/1999 itu masih bisa diterapkan dalam kasus ini karena sifatnya universal.

Dilihat dari UU Pers, MA melakukan pelanggaran hukum karena putusannya itu bertentangan dengan UU 40/1999 tersebut. Menurut UU Pers, hasil investigasi Time itu telah memenuhi kode etik jurnalistik sehingga tidak sepatutnya dihukum. Denda (hukuman) sebesar Rp1 triliun yang dikenakan kepada Time merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (2) UU Pers yang membatasi denda maksimal Rp500 juta.

Tetapi apa pun alasannya dan sepahit apa pun putusannya, kita harus menghormati setiap keputusan hukum karena Indonesia adalah negara hukum. Apa pun keputusan hukum adalah sebuah konsekuensi yang harus dipikul. Sekali lagi, kita harus menghormati hukum. Kalau bukan kita, siapa lagi yang diharapkan bisa menghormati hukum kita sendiri.

*Disampaikan pada Dialog Publik FH Unlam Banjarmasin pada 17 Desember 2007

Peran Media dalam Upaya Perlindungan Anak

Oleh: Ida Mawardi

Wakil Ketua PWI Kalsel

Tidak dipungkiri, anak adalah aset bangsa. Calon pemimpin. Mereka memiliki hak yang sama. Itu sebabnya ada Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tahun pada 23 Juli dan Hari Anak Sedunia. Tidak hanya anak, semua orang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan, kehidupan yang layak dan perlindungan dari negara. _PRIVATE __

Sebagaimana kita ketahui, semua itu denagn jelas dituangkan dalam UUD 1945. Kemudian dijabarkan melalui UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak. Khusus anak, dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang dengan tegas merumuskan, setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan hingga sesudah dilahirkan.

Dari sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah. Bahkan UU Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan, jabang bayi yang masih dalam kandungan termasuk anak. Namun meski belum berusia 18 tahun tetapi sudah menikah, yang bersangkutan tidak lagi disebut anak.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan barpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan terhadap anak, juga diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapuasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Artinya, pemerintah telah berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak melalui berbagai peraturan perundang-undangan.

Namun kenyataannya sekarang, sangat berbeda dengan harapan UU tersebut. Banyak anak yang harus membanting tulang demi sesuap nasi, atau dengan 'riang gembira' mengamen di jalan terutama di kawasan lampu merah menadahkan tangan ke setiap pengendara sambil membunyikan 'peralatan' musik yang sangat menyakitkan telinga.

Banyak anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan, lantaran ketidakmampuan ekonomi orangtua. Juga masih ada (banyak) anak yang diperlakukan tidak manusiawi. Seperti kekerasan yang tidak jarang menimbulkan kematian bagi anak, serta perdagangan (trafficking) anak.

Selajutnya untuk melindungi hak anak, pemerintah mengeluarkan UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diharapkan dapat membantu anak bermasalah hukum tetap mendapatkan hak‑haknya.

Diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah untuk memberikan perlindungan kepada anak. Hal ini sesuai dengan pasal 3 UU tersebut yang berbunyi; perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya Anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Tapi fakta di depan kita, jauh dari harapan. Kekerasan, eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak, masih sering terjadi yang justru dilakukan oleh orang yang sudah dikenal dengan baik oleh si anak. Hal ini tidak saja dialami oleh anak dari kalangan keluarga tidak mampu, justru tidak sedikit yang berasal dari keluarga berkecukupan. Mungkin pembaca masih ingat kasus Arie Hanggara yang tewas di tangan orangtua kandungnya sendiri. Belum lagi, anak yang diperkosa dan dihamili oleh ayah kandungnya. Di mana tanggung jawab orangtua terhadap anak yang dilahirkannya.

Penganiyaan terhadap anak yang dilakukan orangtuanya, di dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, ditetapkan sebagai alasan pemberat sehingga sanksi pidananya menjadi lebih berat. Apalagi sanksi yang ditetapkan dalam UU ini bersifat kumulatif, yaitu pidana penjara dan denda dapat dijatuhkan secara bersama‑sama.

Pidana penjara paling lama lima tahun dan atau denda paling banyak Rp100 jura, merupakan hukuman bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak, atau menelantarkan anak yang mengakibatkan anak sakit atau menderita baik fisik, mental maupun sosial.

Masalah yang dihadapi anak itu, memang cukup komleks dan menjadi tugas kita semua untuk memberikan perhatian sepenuhnya kepada mereka sebagai penerus bangsa ini. Tidak terkecuali dari pers. Pers sangat berperan dalam menerapkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, tertuama melalui tulisan dan pemberitaan di media masing-masing.

Dalam Konvensi Jenewa 1949, kedudukan pers dan anak adalah sama. Pasal 79 Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 itu, dengan jelas tersirat dalam kondisi perang sekali pun, wartawan dan anak serta perawat (petugas kesehatan) merupakan kelompok sipil yang wajib dilindungi dan diperlakukan manusiawi oleh pihak bertikai.

Bahkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, lebih spesifik dalam hal anak sebagaimana disebutkan Pasal 41 ayat 2: Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Jadi anak adalah makhluk yang wajib dilindungi, disayangi, dikasihi, dicintai. Bahkan Deklarasi Universal Piagam Hak Asasi Manusia dalam pasal 43 menyebutkan, perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.

Kembali ke masalah peran media terhadap perlindungan anak. Tulisan atau pemberitaan di media tentang anak baik sifatnya positif maupun negatif, merupakan upaya perlindungan terhadap anak dengan kekuasaan (power) yang dimilikinya.

Media (pers) merupakan salah satu sarana yang cukup efektif membantu masyarakat dan pemerintah dalam upaya melakukan perlindungan terhadap anak. Hal ini sesuai dengan peranan pers, yakni:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar

4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Namun, dalam pemberitaan atau tulisan tentang anak ada persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, tulisan atau pemberitaan dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku khususnya UU tentang Pers Nomor 40 Tahun 1996 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)yang ditandatangani 29 organisasi wartawan dan perusahaan pers Indonesia pada 14 Maret 2006. Khusus anggota PWI, juga berlaku Kode Etik Jurnaslistik PWI.

Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 40/1999 menyatakan. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan di masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal ini juga berlaku dalam pemberitaan dan segala bentuk tulisan tentang anak.

Dalam pemberitaan dan segala bentuk tulisan tentang anak, juga tidak boleh bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik. Pasal 5 KEJ menyebutkan, Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas kornam kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

KEJ PWI pun mengatur hal serupa, yakni dtuangkan dalam Pasal 8 yang menyatakan: Wartawan dalam memberitakan kejahatan susila tidak merugikan pihak korban. Maksudnya, wartawan tidak menyebutkan nama dan identitas korban. Artinya pemberitaan tidak memberikan petunjuk tentang siapa korban perbuatan susila tersebut baik wajah, tempat kerja, anggota keluarga dan atau tempat tinggal, namun boleh hanya menyebut jenis kelamin dan umur korban. Semua kaidah tersebut, juga berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di bawah umur (menurut UU di bawah 16 tahun dan 18 tahun menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 HAM).

Setiap pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik, tidak dibenarkan menyebutkan nama lengkap korban tindakan kesusilaan dan pelaku kejahatan di bawah umur. Tujuannya, melindungi korban dan pelaku serta keluarganya. Itu sebabnya, selama ini media massa khususnya cetak selalu menyamarkan nama mereka atau menggantinya dengan nama lain.

Kalau ada media yang menuliskan lengkap tentang korban susila dan pelaku kejahatan di bawah umur, dapat dikatakan melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum dan perundang-undangan.

*Disampaikan pada Seminar Perlindungan Anak, pada pertengahan Ramadhan 2007 di Banjarmasin

Thursday, December 27, 2007

rabu 261207/ima

Isu Menyesatkan

Sebagian dari kita pasti, terperanjat mendengar dan membaca berita tentang ditemukannya dua mayat tanpa kepala di wilayah hukum Polres Kapuas, dua hari lalu. Apalagi penemuan dua mayat itu, di tengah santernya isu kayau --memotong kepala musuh dalam peperangan.

Mayat pertama yang ditemukan itu adalah bocah perempuan berusia sekitar delapan tahun mengapung di Sungai Kapuas, Kalteng. Korban ditemukan di kawasan Kelurahan Hampatung RT IV, Kecamatan Kapuas Hilir. Mayat satunya ditemukan di Mampai, Kecamatan Kapuas Murung. Kedua mayat tanpa kepala itu dibawa ke RS Kapuas untuk dilakukan visum.

Dari kondisi mayat yang ditemukan tanpa kepala, kita (mungkin dan maaf) akan mengaitkannya dengan isu kayau yang belakangan ini merebak khususnya di wilayah Kalteng dan Kalteng. Sudah jelas isu itu membuat resah masyarakat di dua daerah tersebut. Isu itu semakin mencuat, karena dipicu terutama setelah terjadi sejumlah sejumlah aksi kriminal pembunuhan dengan pemenggalan kepala.

Untungnya, isu meresahkan itu segera ditanggapi oleh Ketua Majelis Adat Besar Agama Hindu Kaharingan Kalteng, Rangkap Inau. Dia menyatakan, isu itu tidak bertanggung jawab, karena tradisi mengayau telah lama dihilangkan masyarakat Dayak. Dulu isu itu dihembuskan penjajah untuk memecah belah bangsa kita.

Pernyataan Inau itu selaras dengan penegasan Kapolres Kapuas AKBP Dedi Setiabudi yang mengatakan, dua mayat yang ditemukan tanpa kepala itu bukan korban kayau. Melainkan korban tindak kriminal. Motif dari tindakan itu, masih dalam penyelidikan jajaran Polres Kapuas. Untuk itulah, masyarakat khususnya di Kapuas tidak terpengaruh dan terpancing oleh isu menyesatkan yang meresahkan itu.

Kita tentunya sependapat dengan Ketua Majelis Adat Besar Agama Hindu Kaharingan Kalteng dan Kapolres Kapuas. Isu yang menyebutkan terjadi kayau dan disebarkan melalui SMS (short message service) itu, adalah perbuatan orang yang sangat tidak bertanggung jawab dan hanya untuk mengacaukan situasi yang tenang dan kondusif. Bahkan Kapolda Kalteng Brigjen Polisi Dinar, mencurigai isu itu dihembuskan oleh orang-orang tertentu dengan tujuan tertentu pula. Tujuannya jelas memperkeruh suasana dengan menyebarkan isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Boleh jadi, isu itu untuk mengalahkan perhatian kita di saat Polri sedang giat melancarkan pemberantasan semua hal yang berbau ilegal, seperti illegal mining, fishing dan logging terutama di wilayah Kalteng dan Kalimantan umumnya.

Sebagaimana kita ketahui, tradisi kayau erat kaitannya dengan Suku Dayak dan bagian dari masa lampau. Tindakan itu terjadi pada masa penjajahan Belanda yang berkuasan di negeri ini. Kayau muncul untuk mengusir penjajah, karena Orang Dayak tidak rela tanahnya (Indonesia) dijajah. Namun persepsi itu disesatkan oleh penjajah, bahwa Orang Dayak yang selama pemerintahan Belanda di Indonesia sebagai suku terasing, tidak beradab, barbarian, kanibal dan biasa mengayau. Stigmanisasi Belanda itu 'berhasil' menyesatkan pandangan suku lain di Nusantara terhadap Orang Dayak. Hingga kini, orang luar Kalimantan percaya bahwa Orang Dayak itu haus darah dan dilingkupi kehidupan black magic yang pekat.

Itulah anggapan sangat keliru yang diwariskan penjajah kepada anak negeri ini. Kita tahu, tujuan penyesatan itu adalah untuk memecah belah kerukunan kita yang hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memang itulah tujuan utama penjajah, agar mereka bisa menguasai negeri kita yang kaya raya untuk kepentingan mereka.

Dalam suasana damai, tenang dan tentram seperti saat ini adalah sangat tidak etis isu kayau kembali dihidupkan karena kita sekarang berada di zaman yang lepas dari penjajahan. Tentang mayat tanpa kepala itu dan isu kayau, jangan sampai membuat kerukunan dan ketenangan kita terusik. Kita tidak ingin terjadi perpecahan hingga mengakibatkan konflik. Kita terlalu etih oleh berbagai permasalahan yang kita hadapi hingga kini. Kita harus menjaga dan memelihara perdamaian dan ketentraman sesama kita.

Marilah kita membantu aparat kepolisian untuk mencari dan menyelidiki si penyebar isu --orang yang tidak bertanggung jawab-- itu. Biarkan kepolisian menyelidiki motif dari tindak kriminal yang menghilangkan dua nyawa tak berdosa tersebut. Tapi satu hal yang lebih penting, jangan sampai kita bertindak anarkis dan main hakim sendiri kalau si penyebar isu menyesatkan tersebut berhasil diketahui dan dibekuk. Biarkan hukum yang bekerja dan berlaku atas dirinya.

Tuesday, December 11, 2007

rabu 121207/ima

HAM
Hidup, merdeka, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, mendapatkan pekerjaan, merupakan sebagian kecil dari hak dasar manusia. Masih banyak hak yang dimiliki manusia. Begitu pentingnya hak asasi manusia, maka 10 Desember ditetapkan sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Bahkan lebih dari itu. PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Piagam Hak Asasi Manusia sebagai upaya untuk melindungi HAM. Pasal 43 Piagam HAM itu menyebutkan: perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.
Di Indonesia, Piagam HAM itu diejawantahkan oleh MPR RI pada melalui Ketetapan MPR RI Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Azasi Manusia yang dikeluarkan pada 13 November 1998. Selanjutnya, pada 1999 lahir UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang diberlakukan hingga saat ini. Tujuan dari kedua produk hukum itu, jelas untuk menjamin dan melindungi hak manusia Indonesia itu,
Artinya, dengan dibuatnya dua aturan hukum tentang HAM itu, pemerintah Indonesia bertanggung jawab dan melindungi kebebasan rakyatnya untuk melaksanakan hak mereka. Memang kita mengakui dan menyadari, di balik itu rakyat juga memiliki kewajiban. Hak dan kewajiban adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, kerena keduanya saling melekat.
Dari dua aturan yang melindungi HAM itu timbul pertanyaan, apakah di negeri ini tidak terjadi pelanggaran HAM. Apakah pemerintah sudah melaksanakan tanggungjawab, memberikan penghormatan, perlindungan, pemajuan dan pemenuhan HAM, persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara, hak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan yang bersih, mengembangkan adat‑istiadat, memperoleh kehidupan aman, damai dan tentram. Jawabnya, belum. HAM masyarakat kita belum sepenuhnya terpenuhi.
Itu sebabnya, pada Senin, dalam rangkaian kegiatan menyambut Hari HAM Sedunia, Komunitas Cinta Damai Kalimantan Barat (Kalbar) mendeklarasikan 'Rakyat Kalbar untuk Penegakan HAM' di Tugu Digulis Universitas Tanjungpura Pontianak. Mereka menuntut pemerintah RI sebagai pemangku kewajiban, untuk melaksanakan secara sungguh‑sungguh tanggungjawabnya menjaga dan pemenuhan HAM setiap warganya. Di hari yang sama, LSM HAM di Papua juga mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM di daerah itu. Mereka berjalan kaki sepanjang dua kilometer di Kota Jayapura, sambil membawa spanduk dan pamflet dengan sejumlah tulisan yang intinya mendesak pemerintah menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Papua.
Tuntutan Komunitas Cinta Damai Kalbar atau LSM HAM Papua itu, sangat wajar. Mereka dan kita, masih melihat pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Salah satunya adalah HAM dalam kebebasan mengeluarkan pendapat, sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dalam hal ini, contoh mutakhir adalah kasus yang menimpa wartawan senior Bersihar Lubis yang kini terancam bakal menjadi menjalani hukuman di balik terali besi. Akibat tulisannya di Koran Tempo pada 17 Maret 2007 lalu, dia menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Depok dengan tuduhan melanggar Pasal 207 KUHP tentang kejahatan terhadap kekuasan pemerintah.
Padahal, kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran baik langsung maupun tidak merupakan hak setiap warga negara. Sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 1999, yakni: Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Juga Pasal 20 dan 21 Ketetapan MPR RI Nomor: XVII/MPR/1998. Pasal 20 menyebutkan: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Pasal 21 menyatakan: Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Tapi semua aturan itu menjadi kehilangan kekuatan dan kekuasaan bagi Bersihar dan kita, khususnya kalangan pers. Sebab, kekuasaan lebih berkuasa maka tidak tertutup kemungkinan kita (pers) pun bisa menjadi 'Bersihar'.