Sunday, December 30, 2007

Time, Soeharto dan Kemerdekaan Pers

Oleh Ida Mawardi

Kamis, 30 Agustus 2007 lalu, dunia pers Indonesia berduka. Tapi sebaliknya, Cendana bertabur suka. Pada hari itu, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan sebuah putusan: Time harus membayar ganti rugi kepada Soeharto yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung Rp 1 triliun.

Putusan spektakuler itu menjadi kado pahit bagi UU Nomor 40 Tahun 1999, yang berusia tepat delapan tahun pada 23 September 2007. Putusan itu, bermula pada 14 Mei 1999 silam. Saat itu, majalah Time edisi Asia yang berkedudukan di Hongkong memuat artikel tentang kekayaan Soeharto dengan judul Soeharto Inc How Indonesia’s Long Time Boss Build a Familly Fortune (Perusahaan Soeharto. Bagaimana Indonesia dalam Waktu Lama Membangun Kekayaan Keluarga).

Tiga hari kemudian, Time mengungkap adanya transfer dana sebesar sembilan miliar dolar AS dari Swiss ke Austria yang diduga milik Soeharto. Tak hanya itu, majalah tersohor itu menulis pula tentang kekayaan anak-anak Soeharto di luar negeri. Selanjutnya, pada 24 Mei 1999, Time Asia yang berkantor pusat di New York US kembali menurunkan hasil investigasi wartawannya mengenai harta kekayaan Soeharto dan keluarganya. Berdasarkan hasil investigasi itu, Time memperkirakan keluarga Soeharto memiliki kekayaan 15 miliar dolar AS baik berupa uang, tanah dan bangunan, barang seni, perhiasan dan pesawat pribadi.

Sekian sering diberitakan itu, membuat Soeharto terusik dan merasa nama baiknya dicemarkan menggugat Time pada 5 Juli 1999 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pimpinan Time di New York menunjuk Todung M Lubis sebagai kuasa hukumnya. Sebagaimana gugatan perdata menurut sistem hukum di Indonesia, sidang dilakukan beberapa kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada 6 Juni 2000, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara itu yang dipimpin Sihol Sitompul menolak gugatan Soeharto dan memutuskan Time tidak bersalah. Dasar putusan itu, dalam beberapa kali sidang terbukti pemberitaan Time tersebut tidak mengandung unsur penghinaan, penistaan dan pemfitnahan terhadap keluarga Soeharto sebagaimana tuduhan.

Tak terima putusan itu, Kubu Soeharto melayangkan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang ternyata juga mengeluarkan putusan yang sama dan dengan pertimbangan hukum yang sama pula dengan Putusan PN itu pada 16 April 2001. . Kubu Soeharto tak puas dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tujuh tahun berlalu dan selama itu pula kasus tersebut mengendap di MA, hingga akhirnya lembaga peradilan tertinggi itu mengeluarkan putusan yang bertolak belakang dari putusan dua lembaga peradilan di bawahnya, pada 30 Agustus 2007 lalu.

Itulah petaka yang menimpa pers di negeri ini. Berbagai komentar dan penilaian pun bermunculan, yang intinya mempertanyakan putusan itu dikaitkan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sejumlah kalangan menilai, putusan itu akan menjadi prseden buruk bagi pers di negeri ini. Negeri yang demokrasi dan memberikan perlindungan hukum kepada jurnalisnya melalui UU tersebut sebagai penjabaran dari Pasal 28f UUD 1945.

Putusan MA tersebut seolah menyatakan, Soeharto masih mempunyai kekuasaan di negeri. Saat Sihol Sitompul usai membacakan putusan PN Jakarta Pusat, terjadi sebuah adegan kecil. Menurut Hamid Awaludin, usai mengetukkan palu, Sihol Sitompul menengok seorang anggota Tim Penasihat Soeharto dan seraya menggelengkan kepala ia berkata: "I am sorry, I cannot help you."

Fakta itu merupakan ancaman serius bagi kehidupan pers kita, sebab tidak menutup kemungkinan putusan serupa kembali terulang di alam reformasi ini. Fakta itu pula yang membuat pers kita ketakutan dalam memberitakan peristiwa khususnya yang berkaitan dengan adanya dugaan korupsi atau perbuatan lain yang merugikan rakyat khususnya yang dilakukan penguasa.

Kita kalangan pers menilai, putusan MA terhadap kasus Soeharto dengan Time itu bisa membuat pers di Indonesia kehilangan daya kritisnya karena ancaman pengadilan. Akhirnya, salah satu fungsi pers yakni sebagai kontrol sosial tidak memiliki makna karena kehilangan kekuatan. Putusan MA tersebut juga dianggap menghambat pemberantasan korupsi yang disiarkan oleh media massa baik tulis maupun elektronik.

Kembali ke Kasus Soeharto – Time. Kalau kita, kasus tersebut muncul yakni saat gugatan diajukan, sekitar dua bulan sebelum UU Nomor 40 Tahun 1999 lahir (5 Juli 1999 – 23 September 1999). Putusan PN dikeluarkan pada 6 Juni 2000 (sembilan bulan usia UU tersebut), dan putusan MA yang mengundang sejumlah reaksi itu hadir sebagai ‘hadiah’ ulang tahun yang ke delapan bagi UU Nomor 40 Tahun 1999. Sebuah hadiah yang sangat menyakitkan, memang. Ketika mengeluarkan putusan itu, MA tidak menerapkan UU Nomor 40 Tahun 1999 –yang masih berlaku hingga saat ini—dalam pertimbangan hukumnya.

Seharusnya, MA menggunakan UU tersebut dalam pertimbangan hukumnya . Sebab, walaupun Time adalah pers asing UU Nomor 40/1999 itu masih bisa diterapkan dalam kasus ini karena sifatnya universal.

Dilihat dari UU Pers, MA melakukan pelanggaran hukum karena putusannya itu bertentangan dengan UU 40/1999 tersebut. Menurut UU Pers, hasil investigasi Time itu telah memenuhi kode etik jurnalistik sehingga tidak sepatutnya dihukum. Denda (hukuman) sebesar Rp1 triliun yang dikenakan kepada Time merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18 ayat (2) UU Pers yang membatasi denda maksimal Rp500 juta.

Tetapi apa pun alasannya dan sepahit apa pun putusannya, kita harus menghormati setiap keputusan hukum karena Indonesia adalah negara hukum. Apa pun keputusan hukum adalah sebuah konsekuensi yang harus dipikul. Sekali lagi, kita harus menghormati hukum. Kalau bukan kita, siapa lagi yang diharapkan bisa menghormati hukum kita sendiri.

*Disampaikan pada Dialog Publik FH Unlam Banjarmasin pada 17 Desember 2007

1 Comments:

At 1:37 AM, Blogger Unknown said...

sep ..seppp

 

Post a Comment

<< Home