Sunday, December 30, 2007

Peran Media dalam Upaya Perlindungan Anak

Oleh: Ida Mawardi

Wakil Ketua PWI Kalsel

Tidak dipungkiri, anak adalah aset bangsa. Calon pemimpin. Mereka memiliki hak yang sama. Itu sebabnya ada Hari Anak Nasional yang diperingati setiap tahun pada 23 Juli dan Hari Anak Sedunia. Tidak hanya anak, semua orang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan, kehidupan yang layak dan perlindungan dari negara. _PRIVATE __

Sebagaimana kita ketahui, semua itu denagn jelas dituangkan dalam UUD 1945. Kemudian dijabarkan melalui UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak. Khusus anak, dituangkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sebelumnya diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang dengan tegas merumuskan, setiap anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak dalam kandungan hingga sesudah dilahirkan.

Dari sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum menikah. Bahkan UU Nomor 23 Tahun 2002 menyebutkan, jabang bayi yang masih dalam kandungan termasuk anak. Namun meski belum berusia 18 tahun tetapi sudah menikah, yang bersangkutan tidak lagi disebut anak.

Menurut UU Nomor 23 Tahun 2002, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan barpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan terhadap anak, juga diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapuasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Artinya, pemerintah telah berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak melalui berbagai peraturan perundang-undangan.

Namun kenyataannya sekarang, sangat berbeda dengan harapan UU tersebut. Banyak anak yang harus membanting tulang demi sesuap nasi, atau dengan 'riang gembira' mengamen di jalan terutama di kawasan lampu merah menadahkan tangan ke setiap pengendara sambil membunyikan 'peralatan' musik yang sangat menyakitkan telinga.

Banyak anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan, lantaran ketidakmampuan ekonomi orangtua. Juga masih ada (banyak) anak yang diperlakukan tidak manusiawi. Seperti kekerasan yang tidak jarang menimbulkan kematian bagi anak, serta perdagangan (trafficking) anak.

Selajutnya untuk melindungi hak anak, pemerintah mengeluarkan UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang diharapkan dapat membantu anak bermasalah hukum tetap mendapatkan hak‑haknya.

Diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah untuk memberikan perlindungan kepada anak. Hal ini sesuai dengan pasal 3 UU tersebut yang berbunyi; perlindungan anak bertujuan menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya Anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Tapi fakta di depan kita, jauh dari harapan. Kekerasan, eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak, masih sering terjadi yang justru dilakukan oleh orang yang sudah dikenal dengan baik oleh si anak. Hal ini tidak saja dialami oleh anak dari kalangan keluarga tidak mampu, justru tidak sedikit yang berasal dari keluarga berkecukupan. Mungkin pembaca masih ingat kasus Arie Hanggara yang tewas di tangan orangtua kandungnya sendiri. Belum lagi, anak yang diperkosa dan dihamili oleh ayah kandungnya. Di mana tanggung jawab orangtua terhadap anak yang dilahirkannya.

Penganiyaan terhadap anak yang dilakukan orangtuanya, di dalam UU Nomor 23 Tahun 2002, ditetapkan sebagai alasan pemberat sehingga sanksi pidananya menjadi lebih berat. Apalagi sanksi yang ditetapkan dalam UU ini bersifat kumulatif, yaitu pidana penjara dan denda dapat dijatuhkan secara bersama‑sama.

Pidana penjara paling lama lima tahun dan atau denda paling banyak Rp100 jura, merupakan hukuman bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak, atau menelantarkan anak yang mengakibatkan anak sakit atau menderita baik fisik, mental maupun sosial.

Masalah yang dihadapi anak itu, memang cukup komleks dan menjadi tugas kita semua untuk memberikan perhatian sepenuhnya kepada mereka sebagai penerus bangsa ini. Tidak terkecuali dari pers. Pers sangat berperan dalam menerapkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, tertuama melalui tulisan dan pemberitaan di media masing-masing.

Dalam Konvensi Jenewa 1949, kedudukan pers dan anak adalah sama. Pasal 79 Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 itu, dengan jelas tersirat dalam kondisi perang sekali pun, wartawan dan anak serta perawat (petugas kesehatan) merupakan kelompok sipil yang wajib dilindungi dan diperlakukan manusiawi oleh pihak bertikai.

Bahkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, lebih spesifik dalam hal anak sebagaimana disebutkan Pasal 41 ayat 2: Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus. Jadi anak adalah makhluk yang wajib dilindungi, disayangi, dikasihi, dicintai. Bahkan Deklarasi Universal Piagam Hak Asasi Manusia dalam pasal 43 menyebutkan, perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia terutama menjadi tanggung jawab pemerintah.

Kembali ke masalah peran media terhadap perlindungan anak. Tulisan atau pemberitaan di media tentang anak baik sifatnya positif maupun negatif, merupakan upaya perlindungan terhadap anak dengan kekuasaan (power) yang dimilikinya.

Media (pers) merupakan salah satu sarana yang cukup efektif membantu masyarakat dan pemerintah dalam upaya melakukan perlindungan terhadap anak. Hal ini sesuai dengan peranan pers, yakni:

1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui

2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinnekaan

3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar

4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum

5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Namun, dalam pemberitaan atau tulisan tentang anak ada persyaratan yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, tulisan atau pemberitaan dimaksud tidak bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku khususnya UU tentang Pers Nomor 40 Tahun 1996 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)yang ditandatangani 29 organisasi wartawan dan perusahaan pers Indonesia pada 14 Maret 2006. Khusus anggota PWI, juga berlaku Kode Etik Jurnaslistik PWI.

Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 40/1999 menyatakan. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan di masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal ini juga berlaku dalam pemberitaan dan segala bentuk tulisan tentang anak.

Dalam pemberitaan dan segala bentuk tulisan tentang anak, juga tidak boleh bertentangan dengan Kode Etik Jurnalistik. Pasal 5 KEJ menyebutkan, Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas kornam kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

KEJ PWI pun mengatur hal serupa, yakni dtuangkan dalam Pasal 8 yang menyatakan: Wartawan dalam memberitakan kejahatan susila tidak merugikan pihak korban. Maksudnya, wartawan tidak menyebutkan nama dan identitas korban. Artinya pemberitaan tidak memberikan petunjuk tentang siapa korban perbuatan susila tersebut baik wajah, tempat kerja, anggota keluarga dan atau tempat tinggal, namun boleh hanya menyebut jenis kelamin dan umur korban. Semua kaidah tersebut, juga berlaku dalam kasus pelaku kejahatan di bawah umur (menurut UU di bawah 16 tahun dan 18 tahun menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 HAM).

Setiap pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik, tidak dibenarkan menyebutkan nama lengkap korban tindakan kesusilaan dan pelaku kejahatan di bawah umur. Tujuannya, melindungi korban dan pelaku serta keluarganya. Itu sebabnya, selama ini media massa khususnya cetak selalu menyamarkan nama mereka atau menggantinya dengan nama lain.

Kalau ada media yang menuliskan lengkap tentang korban susila dan pelaku kejahatan di bawah umur, dapat dikatakan melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum dan perundang-undangan.

*Disampaikan pada Seminar Perlindungan Anak, pada pertengahan Ramadhan 2007 di Banjarmasin

0 Comments:

Post a Comment

<< Home