Monday, March 24, 2008

selasa 250308/ima

Sertifikasi dan Kualitas Pendidikan

Kondisi pendidikan di negeri ini, masih sangat memprihatinkan. Itu terutama menyangkut pengajarnya, yang tidak fokus dalam melaksanakan tugas dan kewajiban mereka. Perhatian mereka terbagi, antara tugas dan kewajiban dengan kesejahteraan. Di satu sisi mereka berusaha untuk melaksanakan tugas dan kewajiban dengan baik, di sisi lain mereka harus memikirkan kesejahteraan keluarganya. Itu sebabnya, tidak jarang kita menemukan pengajar yang melakukan pekerjaan sampingan: mengojek, misalnya. Itu dilakukan, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

Sejumlah pakar pendidikan mengemukakan, profesi guru dan dosen adalah jabatan karir sepanjang hayat yang memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak. Tidak semua orang dapat melakukannya. Di tangan merekalah, nasib bangsa ini berada. Pendidikan yang baik, jelas menghasilkan SDM yang baik pula. Itu sebabnya, setelah Jepang luluh lantak oleh bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Kaisar adalah: "Berapa orang guru yang tersisa?" Itu menandakan, nasib sebuah bangsa ada di tangan guru. Itu pula yang membuat Jepang bangkit dari kehancurannya dalam waktu yang relatif singkat.

Itu di Jepang. Namun Kalau menengok ke belakang, pengajar (guru dan dosen) kita memang tidak memiliki standar yang jelas. Contoh, guru Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah lulusan SD/MI. Guru Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah (SMA/MA) adalah lulusan SMA/MA. Belum lagi masalah kekurangan guru dan pemerataan penempatannya, terutama yang ditugaskan di daerah. Begitu juga dengan dosen program sarjana (S‑1) adalah mereka yang lulusan S‑1. Seharusnya, pengajar adalah minimal setingkat di atas orang diajar dan profesional di bidangnya sehingga out put-nya tidak mengecewakan. Itu semua membuat pendidikan kita, bagai jalan di tempat.

Profesionalisme itu yang kini dituntut dari pengajar di semua tingkat pendidikan. Salah satu kriteria profesional itu adalah keterampilan/keahlian tertentu. Memenuhi tuntutan itu, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang disahkan Presiden Yudhoyono pada 30 Desember 2005. UU itu mengatur tentang kriteria dan standar yang jelas bagi guru dan dosen.

UU tersebut memberikan angin segar bagi profesi guru dan dosen, yang korelasinya adalah peningkatan kesejahteraan mereka. Lebih utama lagi, meningkatkan kualitas pendidikan kita. Melalui UU itu pula, guru dan dosen yang profesional, berkualifikasi akademik dan berkompetensi dapat terwujud.

Berdasarkan UU itu, pengajar yang profesional dan berkualitas adalah memiliki sertifikasi. Dalam hal ini sertifikasi pendidikan yang diberikan kepada pendidik/pengajar (guru dan dosen). Sertifikasi tersebut merupakan bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya perguruan tinggi di daerah ini, Unlam menyertakan sejumlah dosennya dari berbagai fakultas untuk mendapatkan sertfikasi secara nasional. Dari sekitar 1.000 dosen yang dimiliki Unlam, diperkirakan perguruan tinggi tertua di Kalsel ini memiliki 90 dosen yang besertifikasi.

Memiliki dosen besertifikasi, bukan hal yang mudah. Harus melalui penilaian dan proses yang panjang serta benar-benar selektif. Namun apa pun alasannya, melalui sertifikasi itu kita membangun dosen juga guru yang profesional.

Bagi pengajar lulus sertifikasi, maka yang bersangkutan dinyatakan profesional. Dengan demikian dia berhak mendapat tunjangan atau tambahan penghasilan sesuai kepangkatannya sebagai pengawai negeri. Diprogramkan, pada 2010 nanti seluruh guru dan dosen lulus sertifikasi. Maka, mereka yang berjuluk 'pahlawan tanpa tanda jasa itu' menjadi benar‑benar profesional dan lebih sejahtera.

Dengan demikian, tidak ada lagi pengajar yang melakukan kerja sampingan untuk menambah kebutuhan ekonomi keluarganya. Lebih penting, perhatian mereka pun terfokus hanya kepada tugas dan kewajiban karena mereka tak perlu lagi memikirkan ksejahteraan hidup keluarganya. Akhirnya, pendidikan kita benar-benar berkualitas.

Friday, March 07, 2008

sabtu 080308/ima

Hindari Pembajakan Karya Cipta

Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) Daerah Kalimantan Selatan, terbentuk beberapa hari lalu dengan ketuanya Hesly Junianto. Kepengurusan wadah berkumpulnya seniman di Kalsel itu, dikukuhkan pada Rabu malam lalu oleh Ketua Umum PAPPRI Dharma Oratmangun di Restoran Grand Palace.

Banyak harapan masyarakat khusus seniman di daerah ini diletakan di pundak organisasi tersebut. Di antaranya mengayomi dan melindungi karya cipta seniman kita khususnya di semua bidang seni sesuai keahlian masing-masing.

Memang, usai pengukuhan pengurus PAPPRI Kalsl itu, ketuanya Hesly menegaskan, dengan lahirnya PAPPRI Kasel maka hasil karya cipta seniman Banjar bakal terayomi. Selain itu, PAPPRI diharapkan bisa lebih memotivasi insan seni di daerah ini untuk terus berkarya.

Sebagaimana dikatakan Dharma, PAPPRI didirikan untuk melindungi hak kekayaan intelektual dan karya bangsa terutama di bidang seni. Berkat PAPPRI juga, akhirnya Lagu Rasa Sayange karya anak negeri ini kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah beberapa saat sempat diakui Malaysia sebagai milik mereka. Dengan sejumlah bukti tertulis dan otentik yang ditunjukan PAPPRI, akhirnya Malaysia mengakui Lagu Rasa Sayange adalah karya asli dan milik Rakyat Indonesia.

Karya cipta itu sangat mahal. Lihatlah, Bangsa Jepang sangat peduli pada sebuah ciptaan. Apa pun dilakukannya untuk melindungi ciptaan rakyatnya. Bahkan cara pembuatan tempe pun --yang sebenarnya tempe adalah makanan asli Indonesia dan awalnya dibuat oleh anak negeri Indonesia-- dipatenkan oleh Jepang sebagai miliknya.

Bagaimana dengan kita, Rakyat Indonesia? Kenapa sesuatu yang diciptakan oleh anak negeri ini, begitu mudah dibajak orang lain, bahkan oleh bangsa lain. Itu karena, kita kurang peduli pada 'pemeliharaan' sesuatu yang kita ciptakan itu. Kita merasa cukup bangga berhasil menciptakan sesuatu, tanpa sempat atau lebih tepatnya tidak memikirkan bagaimana 'memeliharanya'. Kalaupun mereka mencoba dan berusaha melindungi karya ciptanya dengan mengajukan Hak Paten, tapi urusannya yang dinilai berbeli-belit. Lebih utama lagi, karena biaya untuk mamatenkan karya cipta itu dinilai sangat tinggi sehingga tak terjangkau oleh sebagian pencipta. Itulah kelemahan kita. Belum lagi pemerintah kita yang terkesan kurang memperhatikan dan melindungi ciptaan rakyatnya. Setelah terjadi pembajakan, baru ribut dan saling menyalahkan.

Karya Cipta yang termasuk dalam Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) itu, jangan dianggap remeh dan dipandang sebelah mata. Untuk diketahui, HKI berasal dari hasil kegiatan atas kemampuan daya pikir manusia dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan termasuk seni dan sastra dalam berbagai bentul yang diekspresikan kepada khalayak. Lebih dari itu, hasil kreativitas itu bermanfaat dalam menunjang kehidupan manusia.

Hasil kegiatan dalam kreativitas Rakyat Indonesia itu dilindung dalam sebuah peraturan perundang-undang negeri ini, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal 1 ayat 1 UU tersebut menyatakan: Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan‑pembatasan menurut peraturan perundang‑undangan yang berlaku.

Pasal 10 ayat (1) UU yang sama menyebutkan: Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah dan benda budaya nasional lainnya. Ayat (2)-nya menyebutkan: Negara memegang Hak Cipta atas forklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi dan karya seni lainnya.

Dari sini jelas, karya cipta itu adalah sesuatu yang sangat berharga dalam kehidupan kita terutama bagi penciptanya. Kini saatnya kita untuk lebih peduli dalam 'memelihara' karya cipta. Kita berharap birokrasi memberi kemudahan kepada kita untuk mematenkan karya cipta termasuk di bidang seni dan budaya, agar kasus pembajakan Lagu Rasa Sayange tidak terulang kembali.

Lebih jauh, PAPPRI terutama PAPPRI Kalsel bisa menjembatani anggotanya dan seniman daerah ini khususnya untuk mematenkan karya mereka sebagai upaya melindungi karya cipta tersebut. Tujuan utamanya, menghindari tindakan pembajakan oleh orang yang ingin mengambil keuntungan atas kreativitas orang lain.

Tuesday, March 04, 2008

sabtu 010308/ima

Ampera Masa Kini
Bubarkan PKI, bubarkan Kabinet 100 Menteri dan turunkan harga. Itulah tiga tuntutan rakyat dikenal dengan Tritura, yang disampaikan seluruh Rakyat Indonesia kepada Ir Soekarno sebagai Priesiden RI. Tritura itu disampaikan kepada Presiden melalui aksi demonstrasi mahasiswa di seluruh Tanah Air, 42 tahun lalu tepatnya pada 1966. Tak terkecuali di Kalsel.
Hasil nyata dari perjuangan pemuda dan mahasiswa itu adalah gugurnya Arief Rahman Hakim, mahasiswa UI, pada 24 Februari 1966. Menyusul Hasanuddin Haji Madjedi, mahasiswa Fakultas Ekonomi Unlam, yang gugur pada 10 Februari 1966, 14 hari sebelumnya, dalam aksi serupa di Banjarmasin. Berbeda dengan Arief, sampai saat ini Hasanuddin belum dinyatakan sebagai Pahlawan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) oleh pemerintah.
Dalam Tap MPRS RI No XXIX/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang Pengangkatan Pahlawan Ampera, hanya menyebutkan nama Arief Rahman Hakim yang gugur pada 24 Februari 1966 dan lima korban lainnya. Nama Hasanuddin HM tidak dicantumkan dalam ketetapan tersebut, padahal dia kembali ke pelukan Ibu Pertiwi 14 hari sebelum Arief. Untuk itulah berbagai kalangan di daerah ini khususnya Komponen Angkatan 1966, mengusulkan kepada Pemerintah RI untuk menetapkan Hasanuddin HM sebagai Pahlawan Ampera.
Usulan pengakuan itu tidak terlalu berlebihan, justru sangat wajar. Sebab, Hasanuddin adalah korban pertama dalam aksi memperjuangkan kepentingan rakyat pada 42 tahun silam itu. Usulan itu merupakan wujud dari penghargaan kita kepada pahlawannya. Sebagaimana pernah disampaikan salah seorang presiden AS: Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai pahlawannya. Walaupun kita tahu, sang pahlawan tidak pernah sama sekali untuk minta dihargai.
Kembali ke Hasanuddin. Mahasiswa sekarang, hampir tidak mengenal siapa Hasanuddin HM selain sebagai nama jalan, masjid dan gelanggang olahraga di Banjarmasin. Dulu, sampai era 1970-an, mahasiswa baru dikenalkan pada kehidupan kampus termasuk tentang sosok Hasanuddin beserta keberanian dan aksi yang dilakukannya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Hal itu merupakan rangkaian kegiatan 'penerimaan' mahasiswa baru oleh 'pendahulu'-nya, melalui kegiatan plonco dan posma (pekan orientasi mahasiwa baru). Pada masa itu, mahasiswa mengadakan upacara peringatan di makam Hasanuddin. Kini, peringatan itu dilakukan IKA dalam rangkaian kegiatan yang salah satunya adalah napaktilas Hasanuddin.
Terlepas dari penghargaan sebagai Pahlawan Ampera, semangat dan keberanian Hasanuddin beserta mahasiswa dan pemuda lainnya masa itu harus tetap bersemayam dalam diri pemuda dan mahasiswa masa kini. Dulu, Ampera yang diperjuangkan mahasiswa ada tiga (bbarkan PKI, Bukarkan Kabinet, Turunkan Harga) dalam memperjuangkan kepentingan dan ksejahteraan rakyat.
Dalam konteks kekinian, rakyat kita berada dalam banyak penderitaan dari akibat bencana alam sampai masalah sosial dan ekonomi. Tingginya harga kebutuhan pokok dewasa ini, membuat masyarakat (bangsa) kita semakin terpuruk dalam kemiskinan. harga kebutuhan pokok yang tinggi dan tak terjangkau masyarakat berpenghasilan kecil, membuat mereka kehilangan daya beli. Belum lagi angka penganggguran yang semakin tinggi, karena semakin menyempitnya kesempatan kerja. Sumberdaya manusia kita yang rendah, karena pendidikan di negeri ini merupakan barang supermewah. Bangsa kita yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan, tak kuasa menjangkaunya.
Belum lagi penderitaan rakyat kita akibat bencana alam seperti tsunami, banjir. tanah longsor. Korban Lumpur Lapindo yang sampai saat ini belum tuntas ditangani, justru daerah terdampak semakin meluas. Artinya, korban pun bakal semakin bertambah.
Semua itu merupakan Amanat Penderitaan Rakyat kita di zaman sekarang. Kita sebagai generasi muda bangsa yang besar ini, harus turut bertanggung jawab dalam memecahkan semua persoalan itu. Semoga semangat Hasanuddin memberikan solusi terbaik bagi kita, untuk membantu bangsa ini keluar dari segala penderitaan yang terus mendera.