Friday, January 25, 2008

sabtu 260108/ima

Berlindung di Balik Hukum

Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan Pemprov Kalsel, Helmi Indra Sangun, akhirnya bernafas lega. Pengadilan Negeri Banjarmasin, memenangkan gugatan praperadilan terhadap Polda Kalsel yang menahannya. Helmi menjadi penghuni sel Mapolda Kalsel, sejak Selasa (18/1) lalu, setelah ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan mark-up pengembangan Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin. Setelah enam hari ditahan, tepatnya Kamis (24/1), Helmi dikeluarkan dari tahanan karena hakim PN Banjarmasin dalam putusan praperadilan menyatakan, penahanan yang dilakukan penyidik Polda Kalsel atas Helmi adalah tidak sah.
Menurut hakim yang memeriksa dan mengadili gugatan praperadilan tersebut, penyidik Polda Kalsel telah salah melakukan penahanan terhadap Helmi. Dalam hal ini, penahanan itu tanpa memperhatikan ketentuan perundangan yang berlaku secara umum, yakni tidak berpedoman kepada ketentuan perundang-undangan. "Penahanan itu menimbulkan arogansi kewenangan dan melanggar hak asazi," ujar Hari Irawan, hakim yang memimpin sidang praperadilan tersebut, Kamis (24/1).
Dibebaskannya Helmi dari status tahanan Polda Kalsel itu, berarti hanya ada satu tersangka kasus yang sama yakni dugaan mark up Bandara Syamsudin Noor yang ditahan, yakni Sampurno --mantan Kasubdin Perhubungan Udara, Dishub Kalsel. Dalam kasus yang sama itu, hanya berkas Sampurno yang diproses di meja hijau Pengadilan Negeri Banjarbaru. Sementara tersangka lainnya, Ismet Ahmad, sudah dikeluarkan dari tahanan Polda Kalsel karena penangguhan penahanannya dikabulkan.
Memang ketiga tersangka dalam satu perkara yang sama itu berbeda nasib. Sampurno sebagai pemimpin proyek, kini masih mendekam di Lapas Martapura selama perkaranya masih diproses di persidangan. Sementara Ismet, menjalani penangguhan penahanan. Sedangkan Helmi, otomatis dikeluarkan dari tahanan berdasarkan putusan sidang praperadilan.
Sesuai peraturan perundang-undangan khususnya Pasal 21 ayat 1 dan 4 KUHP, ada persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan penahanan terhadap seorang tersangka tindak pidana. Persyaratan itu adalah tersangka dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan dan atau merusak alat bukti, membahayakan orang lain dan atau dirinya sendiri. Kalau ketiga syarat itu terpenuhi, maka tersangka wajib ditahan. Kalau salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tersangka bisa tidak ditahan di sel tahanan. Untuk menjalani proses hukum dari dugaan tindak pidana yang disangkakan, tersangka bisa menjalani tahanan rumah atau tahanan kota.
Sementara tersangka kasus dugaan mark up bandara itu, secara kasat mata memang tidak memenuhi persyaratan itu. Itu pula yang menjadi pertimbangan Helmi dan kuasa hukumnya untuk mengajukan gugatan praperadilan terhadap Polda Kalsel yang menahannya. Gugatan itu pun dikabulkan.
Memang, dalam kasus korupsi apalagi yang menimbulkan kerugian negara dalam jumlah besar, penanganan hukumnya sangat berliku. Jaksa sebagai penuntut pun, harus selalu berkoordinasi dalam membuat dakwaan dan tuntutan.
Seperti yang kita saksikan selama ini, banyak tersangka korupsi yang bebas dan atau dibebaskan dari jerat hukum. Alasan dan pertimbangan yang dikemukakan adalah belum atau tidak cukup bukti. Akibatnya, perkara menjadi luntang lantung dan tersangka bebas demi hukum karena telah habis masa tahanannya. Kita pun sebagai rakyat dengan sangat terpaksa harus berlapang dada dan berbesar hati menerima putusan itu. Sebagai rakyat dari negara hukum seperti negeri kita Indonesia, wajib menghormati setiap keputusan hukum dari negara melalui lembaga peradilannya.
Harus kita akui, pelaku tindak pidana korupsi adalah orang-orang lihai. Kalau tidak lihai dan cerdas, sangat tidak mungkin mereka berani melakukan tindakan yang merugikan rakyat dan negara. Mereka pun akan berlindung di balik hukum, kalau perbuatan mereka ketahuan dan masyarakat menuntut pertanggungjawabannya.

Thursday, January 17, 2008

Bila Modal Asing Masuki Industri Pers

Oleh: Noor Dachliyanie Adul

Globalisasi, membuka segala peluang termasuk dalam berusaha. Investor asing pun bisa leluasa menanamkan modalnya di Indonesia. Terlebih lagi dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
Pada dasarnya PMA dari negara maju ke negara berkembang. Tapi tidak menutup kemungkinan dari negara berkembang ke negara sedang berkembang.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1967 yang dituangkan dalam pasal 6, ada beberapa bidang usaha yang tertutup untuk PMA. Pasal 6 ayat 1 menyebutkan, bidang usaha yang tertutup bagi PMA secara penguasaan penuh ialah bidang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak.
Bidang usaha yang dimaksud adalah pelabuhan; produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum; pembangkitan tenaga atom; mass media.
Sedangkan yang tertutup (dilarang) sama sekali bagi PMA, sebagaimana dimaksud pasal 6 ayat 2 adalah, bidang usaha yang menduduki peranan penting dalam pertahanan negara antara lain produksi senjata, mesiu, alat peledak dan peralatan perang.
Khusus PMA dalam bidang usaha industri pers, berdasarkan UU nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, membuka kemungkinan masuknya modal asing dengan melalui pasar modal.
Ketentuan ini menyulut timbulnya pro dan kontra. Bagi yang pro, melihatnya dari sisi positifnya sehingga tidak menjadi masalah. Sementara yang kontra, berpendapat masuknya PMA ke dalam industri akan banyak menimbulkan masalah.
Sebelumnya berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pers, PMA benar-benar tertutup bagi industri pers.
Pasal 13 ayat 2 UU ini menyebutkan, modal Perusahaan Pers harus seluruhnya modal nasional, sedang pendiri dan pengurusnya warga‑negara Indonesia. Ayat 3 menyebutkan, perusahaan pers dilarang memberikan atau menerima jasa/bantuan/sumbangan kepada/dari pihak asing, kecuali dengan persetujuan Pemerintah setelah mendengar Dewan Pers.
Dari ketentuan pasal 13 ini, sangat jelas PMA tertutup bagi industri pers. Ini bertentangan dengan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang membuka peluang bagi PMA dalam bidang usaha industri pers. Pasal 11 dari UU ini menyebutkan, penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Memang disadari ada dua kepentingan dari PMA, yaitu sarana mencari keuntungan bagi investor dan bermanfaat bagi negara penerima investasi.
Manfaat yang didapat negara penerima investasi dari PMA ini adalah berupa penguasaan teknologi dan manajemen, pengrekrutan tenaga kerja dan perluasan pasar. Kalau untuk bidang usaha lain, PMA memang menguntungkan bagi kedua belah pihak, negara penerima dan investor. Tapi kalau PMA harus memasuki industri pers, menurut hemat penulis, lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Norma yang terdapat dalam UU No 1/1967 menyiratkan, modal asing yang masuk Indonesia adalah direct investment dan porto polio investment. Investor menanggung risiko yang timbul dan ikut campur dalam managemen perusahaan PMA. Selain turut serta mengelola dan sebagai pengambil keputusan/kebijakan (decision maker).
Kalau PMA masuk dalam industri pers sebagaimana yang dituangkan dalam UU No 40/1999, mau tidak mau diberlakukan norma yang ada dalam UU No 1/1967. Pemilik modal bisa mengintervensi kebijakan redaksi. Lebih fatal lagi, segala informasi di dalam negeri akan dikuasai oleh negara asing sebagai investor.
Jelas hal ini merugikan pers dalam negeri. Padahal baik UU No 11/1966 maupun UU No 40/1999, secara umum menyebutkan, pers merupakan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi sebagai kontrol, edukatif, informatif dan hiburan. Pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan konstruktif.
Untuk melaksanakan fungsinya itu, pers bebas mengumpulkan, mengolah dan menyiarkan fakta, pendapat, ulasan, gambar dan lainnya melalui media yang tersedia. Di antaranya media tulis dan elektronik seperti suratkabar, majalah, radio dan televisi. Karya pers (jurnalistik) adalah karya intelektual.
Dengan diperbolehkannya PMA merambah ke indutri pers, otomatis kebebasan pers selama ini menjadi terkekang oleh intervensi pemilik modal. Tidak menutup kemungkinan, pers menjadi alat investor untuk mewujudkan keinginannya dengan menghalalkan segala cara, karena ia memiliki kekuasaan dan kekuatan melalui usaha persnya. Idealisme pers pun menjadi dikebiri dan terbelenggu. Ini yang dikhawatirkan oleh insan pers Indonesia.
Misalnya, AS menanamkan investasinya di Indonesia di bidang usaha pers. Bagaimana pun, sebagai pemilik modal, AS yang dikenal sangat demokratis ini pasti melakukan intervensi dalam kebijakan redaksional. Semua berita yang mengritik atau menyudutkan kebijakan pimpinan negara itu, tidak bakal dapat disiarkan melalui media bersangkutan. Tetapi sebaliknya, dengan leluasa menyiarkan berita negatif tentang negara penerima investasinya.
Ini bisa dilihat dari berita media massa milik AS dan negara pro AS mengenai negara Islam, terutama Irak, Afghanistan dan Palestina. Semua berita dari negara itu yang disiarkan selalu menguntungkan pihak barat (AS dan sekutunya). Sebaliknya, mereka memusuhi media massa dan wartawannya yang menyiarkan keadaan sebenarnya. Bahkan, kantor media massa bersangkutan dan hotel tempat wartawannya menginap dirusak dan dimusnahkan.
Kalau Singapura dan Malaysia yang menanamkan modalnya dalam industri pers di Indonesia, jelas berita tentang TKI yang terlantar atau dianiaya majikan di dua negara itu tidak akan pernah terdengar di Indonesia. Sebaliknya, TKI bermasalah yang menguntungkan dua negara itu, dapat dipastikan akan menghiasi media tempatnya menanamkan modal.
Sebagaimana diketahui, salah satu tujuan dari PMA di Indonesia adalah dapat 'mengambil' teknologi yang dibawa investor. Tapi dalam bidang pers, tidak ada teknologi yang bisa diambil dan diwarisi. Sebab, teknologi pers adalah sama di semua tempat dan menyesuaikan dengan perkembangan.
Lagi pula dengan masuknya modal asing ke dalam perusahaan pers, selain investor akan menguasai semua informasi, rahasia negara pun akan diketahui secara luas. Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 6 ayat 2 UU nomor 1 Tahun 1967.

Wednesday, January 02, 2008

kamis 030108/ima

Akhirnya Jadi Penghuni Sel

Anton Gunadi, pengusaha paling dicari oleh jajaran Polda Kalsel dalam dua tahun terakhir ini, akhirnya menjadi penghuni sel tahanan Mabes Polri dan sejak kemarin dipindahkan ke Polda Kalsel di Banjarmasin. Sebelumnya, selama sekitar dua tahun sejak Maret 2006 saat dia ditetapkan sebagai tersangka hingga dijemput di Singapura oleh aparat Mabes Polri persisi di penghujung 2007 (31 Desember), dia menjadi buron Polda Kalsel dalam kasus dugaan terlibat pembalakan liar. Sampai-sampai Polda Kalsel mengeluarkan DPO --Daftar Pencarian Orang.

Bermacam isu pun menyelimuti dirinya, seputar masa buronnya itu. Berbagai spekulasi pun merebak, bahkan ada yang menduga dia sengaja 'disembunyikan' agar borok orang lain yang terkait kegiatan serupa yang dilakukan Anton, aman. Akhirnya, dugaan dan isu 'miring' itu terjawab oleh permintaan Anton untuk dijemput di Singapura.

Sebagaimana diketahui, Anton yang akan genap berusia 58 tahun pada 23 Januari nanti, dijerat dengan dua kasus kayu tak berdokumen oleh Polda Kalsel. Pertama, kelebihan 36 batang kayu bulat berbagai jenis yang volumenya sekitar 2.000 meter kubik. Kedua, kelebihan 23 batang kayu bulat yang diangkut kapal tongkang BS 68 dan 526 batang atau 2.264,84 meter kubik yang dipindahkan ke tiga kapal tongkang dengan tujuan Jambi, Pontianak dan Semarang.

Dari dua kasus itu, pada Maret 2006, Anton ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan keterlibatannya sebagai pemilik CV Bina Benua selaku pemilik kayu tak berdokumen tersebut. Namun, sejak Agustus 2006, dia 'menghilang' dan tidak diketahui keberadaannya setelah dia meminta izin ke Polda Kalsel untuk berobat ke Singapura.

Kini, dia bukan lagi sebagai buron tetapi telah menjalani penahanan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan kata lain, dia harus membuktikan semua tuduhan yang diarahkan kepadanya itu tidak bisa dibuktikan.

Terlepas dari itu semua, masyarakat tidak akan bertanya-tanya dan berspekulasi lagi tentang keberadaan Anton. Tapi biaya untuk itu tidak sedikit. Polda Kalsel dan Mabes Polri khususnya serta negara umumnya jelas mengeluarkan banyak biaya untuk mengungkap kasus yang melibatkan pengusaha yang cukup di kenal di daerah ini tersebut. Masyarakat dan kita semua pasti mengharapkan, kasus tersebut segera terungkap dan diselesaikan melalui jalur hukum.

Tidak diinginkan adalah, setelah bersusah payah dan mengeluarkan dana yang tidak sedikit, dia bisa lolos dari jerat hukum. Memang kemungkinan itu bisa saja terjadi, karena --misalnya-- tuduhan tidak terbukti atau alat bukti yang tidak lengkap. Kalau ini yang terjadi, maka sia-sialah segala usaha dan upaya yang dilakukan kepolisian untuk mengungkap kasusu tersebut.

Kita tahu, pembalakan liar dalam hal ini penebangan pohon di hutan seenaknya dan tanpa izin, merupakan perusakan lingkungan yang berdampak pada masyarakat. Banjir, longsor atau angin puting beliung yang terjadi selama ini di sejumlah daerah di negeri ini khususnya pada musim penghujan, salah satu penyebabnya adalah perusakan lingkungan terutama perambahan hutan. Di musim kemarau, asap dari kebakaran hutan dan lahan, kekeringan sehingga rakyat kesulitan mendapatkan air untuk keperluan hidup juga disebabkan oleh rusaknya lingkungan karena hutan yang yang menggangga kehidupan manusia sudah kehilangan tanaman di atasnya.

Sebagaimana ditegaskan Presiden Yudhoyono, kalau hutan tidak dirawat dan dipelihara dengan baik maka akan mudah sekali terjadi longsor saat musim penghujan. Sebaliknya, pada musim kemarau akan terasa lebih terik. Itu akibat dari hutan yang tidak memiliki persedian air dan tanaman yang tumbuh di atasnya.

Terjadi selama ini, manusia justru menggerogoti isi hutan dengan membabat habis semua tanaman --pohon untuk diambil kayunya-- yang tumbuh di atasnya. Juga mengeruk isi bumi yang berada di bawah hutan. Semua itu dilakukan manusia untuk kepentingan sesaat, tanpa ingat kepentingan generasi mendatang yang adalah anak cucu mereka sendiri.

Kini, saatnya kita mencinta hutan dan lingkungan demi kehidupan kita bersama dan makhluk hidup lainnya. Jangan sampai ada kata sudah terlambat.